Jumat, 08 Januari 2010

Nawaqidul Wudhu (Yang Membatalkan Wudhu)

Benda Yang Keluar Dari Dubur & Kubul (kemaluan)
Apa saja yang keluar dari kemaluan dan dubur, berupa kencing, berak, atau kentut. Ataupun kotoran itu banyak atau sedikit.
Dalilnya adalah firman Allah Swt:

“ Maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuhperempuan. “ (QS. Al-Maidah: 6)

Rasulullah Saw. bersabda:
"Allah tidak akan menerima shalat seorang di antara kamu yang berhadas sampai ia berwudhu' (sebelumnya)." Maka, seorang sahabat dari negeri Hadramaut bertanya. "Apa yang dimaksud hadas itu wahai Abu Hurairah?" Jawabnya, "Kentut lirih maupun kentut keras." (HR. Bukhari Muslim).

"Dari Ibnu Abbas r.a., ia berkata, "Mani, wadi dan madzi (termasuk hadast; kotoran). Adapun mani, cara bersuci darinya harus dengan mandi besar. Adapun madi dan madzi," maka dia berkata, "cucilah dzakarmu, kemaluanmu, kemudian berwudhulah sebagaimana kamu berwudhu' untuk shalat!" (HR. Abu Daud & Baihaqi; Hadist Shahih).

Jika yang keluar itu sesuatu yang tidak lazim misalnya ulat, rambut, kerikil atau yang sejenisnya, maka termasuk membatalkan wudhu juga. Dan ini sesuai dengan sabda Rasulullah Saw kepada seorang wanita yang tengah mengeluarkan darah istihadhah (darah yang keluar karena penyakit dan bukan karena darah haid atau nifas):

“ Berwudhulah untuk setiap shalatmu.” (HR. Abu Daud)

2. Tidur Pulas Dalam Keadaan Terlentang

Tidur lelap sampai tidak merasakan kesadaran sedikitpun baik lama maupun sebentar.

Shafwan bin Assal, ia berkata, "Adalah Rasulullah saw. pernah menyuruh kami, apabila kami melakukan safar agar tidak melepaskan khuf kami (selama) tiga hari tiga malam, kecuali karena janabat, akan tetapi (kalau) karena buang air besar atau kecil ataupun karena tidur (pulas maka cukup berwudhu')." (HR. Nasai dan Tirmidzi: Hadist Hasan)

Hadist ini menunjukan bahwa tidur nyenyak dengan kencing dan berak adalah pembatal wudhu.

Keterangan

Bagiamana kalau tidur dalam keadaan duduk atau bersandar?
Ada dua pendapat mengenai hali ini yaitu:

1. Apabila tidur dalam keadaan bersandar itu dalam jangka waktu lama, maka wudhunya batal. Namun jika waktunya sebentar maka tidak membatalkan wudhu. Pendapat ini menurut pandangan Imam Malik dan Sufyan ats-Tsauri.

2. Imam Syafi’i mengatakan tidur dalam keadaan bersandar baik dalam jangka waktu lama atau sebentar tidak membatalkan wudhu. Dengan catatan bahwa tidurnya ini tetap dalam kondisi semula (tidak bergeser) dan pantatnya menempel pada lantai (atau apa saja) sehingga tidak mungkin keluar kentut ketika tidur.

Dalil pandangan kedua dianggap kuat (rajih) dengan argumen sbb:

“Para sahabat tertidur (ketika menunggu shalat Isya untuk berjamaah), lalu mereka bangun dan mengerjakan shalat tanpa berwudhu lagi.” (HR. Tirmidzi. Tirmidzi mengatakan hadistnya Hasan Sahih)

3. Hilangnya Kesadaran
Seperti pingsan atau mabuk. Dalilnya adalah seperti orang tertidur pulas yang pada dasarnya hilang kesadarannya. Sedangkan pingsan atau mabuk jauh lebih berat dari pada tertidur pulas.

4. Memegang Atau Menyentuh Kemaluan

Mengenai hal ini terdapat 2 pandangan berbeda yaitu:

A. Membatalkan wudhu
Dengan alasan beberapa argument antara lain:
“ Barang siapa yang dengan sengaja menyentuh kemaluannya, maka hendaknya ia berwudhu lagi.” (HR. Hakim)


“ Barang siapa yang menyentuh zakarnya (dengan segaja), hendaknya ia tidak mengerjakan shalat sehingga wudhu lagi.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Baihaqi dan disahihkan oleh Imam Tirmidzi)

Imam Bukhari mengatakan, : Ini pendapat yang lebih benar (rajah) dalam masalah tersebut. Hadist lainnya diriwayatkan pula oleh Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad)

B. Tidak Membatalkan Wudhu

Dengan alasan riwayat Busrah binti Shafwan:
Dari Qais bin Thalq dari ayahnya dia berkata, "Kami mendatangi Nabiyullah Saw, lalu datanglah seorang laki-laki sepertinya dia seorang Arab Badui sembil berkata, "Wahai Nabi apa pendapatmu mengenai perbuatan seorang laki-laki menyentuh zakarnya setelah dia berwudhu?". Beliau menjawab, "Ia hanyalah segumpal daging darinya." atau dalam lafazh yang lain "(Ia hanyalah) bagian darinya." (HR. Ahmad Abu Daud,Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Dua dalil diatas tampaknya bertentangan dan banyak terjadi perdebatan diantara ulama. Dan tidak tepat jika hadist Busrah binti Shafwan menghapus (mansukh) karena hadist ini keduanya sahih dan jika bisa dikompromikan maka itu yang harus dilakukan. Beberapa ulama memberikan kesimpulan untuk untuk mengkopromikan dua hadist diatas:

  • Pertama: Jika menyentuh itu diserati dorongan syahwat, maka batal wudhunya sedangkan jika tidak disertai dorongan syahwat tidak membatalkan wudhu.


  • Kedua: Menyentuh kemaluan tidak membatalkan wudhu, namun disunahkan wudhu kembali. Pandangan ini merupakan pandangan Imam Malik dalam salah satu riwayat, pandangan Ibnu Taimiyyah dan Syeikh Ibnu Utsaimin


  • Ketiga: Ada pendapat bagus dan saya sendiri mengikuti pandangan ini yaitu pandangan Syeikh Jibrin Almarhum: “ Pendapat yang ada menyatakan bahwa menyentuh kemaluan membatalkan wudhu sebagai langkah hati-hati (Ihtiyaht/preventif). Dalam hal ini, sebagian sahabat pun mengamalkan pendapat seperti ini. Jika seseorang tidak berwudhu lagi setelah itu karena mentakwil (tidak mengetahui mana yang lebih shahih lantas mengamalkan hadits yang kurang shahih), shalatnya tetap sah hukumnya. Jika menyentuhnya karena dorongan birahi, maka pendapat yang lebih kuat adalah batal hukumnya. Wallahu a'lam.”



  • Apakah Sentuhan Pria dan Wanita Membatalkan Wudhu??
    Terjadi perbedaan pendapat apakah sentuhan pria dan wanita membatalkan wudhu?
    Perbedaan ini didasarkan pemahaman kata LA MASTUMUN NISA (menyentuh wanita) dalam ayat:

    “Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, …….” (QS. An-Nisa: 43)

    Terdapat 3 pendapat mengenai hal ini yaitu:

    A. Membatalkan Wudhu
    Ulama Syafi’i mengartikan kata MENYENTUH secara lughowi (kata dasar: harfiyah) sehingga sentuhan kulit antara laki-laki dan wanita yang bukan mahram membatalkan wudhu`.
    Menurut mereka, bila ada kata yang mengandung dua makna antara makna hakiki dengan makna kiasan, maka yang harus didahulukan adalah makna hakikinya. Kecuali ada dalil lain yang menunjukkan perlunya menggunakan penafsiran secara kiasan.
    Dalam pandangan mahzab Syafi’i juga terdapat pandangan lain yaitu sebagian ulama Syafi’i yang batal wudhu adalah yang menyentuh (duluan), sedangkan yang tersentuh tapi tidak sengaja menyentuh, maka tidak batal wudhu`nya.
    Juga ada pendapat yang membedakan antara sentuhan dengan lawan jenis non mahram dengan pasangan (suami isteri). Menurut sebagian mereka, bila sentuhan itu antara suami isteri tidak membatalkan wudhu.

    B. Tidak Membatalkan Wudhu Baik Dengan Syahwat atau Tidak
    Sebagian ulama mengartikan kata MENYENTUH sebagai kiasan (Majaz) yang maksudnya adalah jima` (Hu. suami istri) . Sehingga bila hanya sekedar bersentuhan kulit, tidak membatalkan wuhu. Pandangan ini dianut oleh mahzab Hanafi dan beberapa pandangan sahabat.
    Abu Hanifah sendiri mendasarkan pandangannya dari Ibnu Abbas, bahwa ketika kalimat LA MASA dihubungkan dengan wanita maka artinya hubungan seksual. Dan ada riwayat yang menguatkan pandagannya bahwa Nabi saw mencium istrinya kemudian shalat tanpa berwudhu.(HR. Abu Daud, Nasai, Ahmad dan Tirmidzi).
    Namun hadist ini dinilai mursal (tidak bersambung kepada Nabi) oleh Imam Bukhari dan dianggap hadist yang lemah (dhaif). Dan banyak para ulama tidak mendukung pandangan ini.

    Meskipun demikian ada hadist lainnya yang semakna dengan hadist ini yaitu:

    “ Bahwa sesungguhnya ciuman itu tidak membatalkan wudhu dan puasa.” (HR. Al-Bazzar dengan sanad jayyid (baik)

    C. Batal Jika Sentuhan Disertai Dengan Syahwat
    Sedangkan mahzab Malikiyah dan jumhur mengatakan hal sama kecuali bila sentuhan itu dibarengi dengan syahwat (lazzah), maka barulah sentuhan itu membatalkan wudhu`.
    Pendapat mereka dikuatkan dengan adanya hadits bahwa Rasulullah Saw pernah menyentuh para isterinya dan langsung mengerjakan shalat tanpa berwudhu` lagi.

    Dari Habib bin Abi Tsabit dari Urwah dari Aisyah ra dari Nabi SAW bahwa Rasulullah Saw mencium sebagian isterinya kemudian keluar untuk shalat tanpa berwudhu`. Lalu ditanya kepada Aisyah, ”Siapakah isteri yang dimaksud kecuali anda?” Lalu Aisyah tertawa. (HR Turmuzi Abu Daud, An-Nasai, Ibnu Majah dan Ahmad).

    Hadist lainnya terdapat dalam buku Muwatha Imam Malik dari Ibnu Umar:

    “ Mengenai ciuman seorang suami kepada istrinya dan rabaanya, dikategorikan sebagai hukum bersetuhan. Jadi barangsiapa mencium istrinya atau merabanya (dengan syahwat), maka ia harus berwudu lagi.” (HR. Malik)

    Hadist lain yang menguatkan pandangan ini adalah:

    Suatu malam aku mencari Rasul saw di pembaringan dan tidak menemukan beliau maka kuletakkan tanganku di telapak kaki beliau yang ketika itu beliau berada di masjid'' (HR. Muslim dan Tirmidzi).

    Kesimpulan
    Imam Syafi'I seperti diuraikan diatas memahami arti ''lamasa'' dengan menyentuh baik dengan syahwat atau tidak karena ia lebih mengartikan makna LA MASSA dengan kata dasar atau hakiki.Meskipun terdapat hadist-hadist sahih yang menunjukan bahwa persetuhan itu tidak membatalkan wudhu, namun Imam Syafi’i memahami persentuhan tersebut tidak secara langsung tetapi ada penghalangnya yaitu pakaian. Pendapat ini memang ketat, tetapi aman. Sedang pendapat moderat adalah pendapat mazhab Malik dan Hanbali bahwa menyentuh dengan syahwat lah yang membatalkan wudhu.

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar