PEMBAHASAN IBADAH
I. AHKAM THAHARAH
(Hukum Yang Berhubungan Bersuci)
Taharah berasal dari kata bersih atau membersihkan dari kotoran
Sedangkan menurut definisi fikih berarti: membersihkan hadast atau menghilangkan najis. Dengan demikian hadast itu berarti sesuatu perbuatan yang mengharuskan berwudhu atau mandi. Perbuatan yang mengharuskan wudhu itu misalnya seseorang yang hendak shalat yang tadinya tidak suci karena kencing atau buang air besar. Yang mengharuskan mandi itu ketika bertemunya dua sunatan (hubungan seksual atau keluar mani).
Taharah adalah cirri penting dalam Islam yang mengandung arti bahwa setiap muslim dan muslimah harus selalu suci baik batin maupun raganya. Sucinya batin berarti membersihkan hati dari syirik, dengki, iri hati, takabur dan sebagainya. Allah Swt befirman:
“(Yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih,” (QS. Asy-Syua’ara: 88-89)
“Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. Al-Isra: 36)
Namun pembahasan Fikih tentang Taharah ini lebih menitik beratkan pada kesucian raga, sedangkan pembahasan tentang penyucian batin lebih banyak disinggung dalam pengajaran Akhlak.
II. AHKAM Al-MIYAH
(Hukum-hukum Yang Berhubungan Dengan Air)
Setelah mengkaji semua pandangan ahli fikih dalam setiap aliran fikih, kesimpulan umum bahwa air terbagi tiga kategori, yaitu:
1. Air Suci dan Mensucikan ( yang lazim disebut Air Mutlak), yaitu air suci yang tidak tercampur air najis, yang bisa dipakai wudhu, mandi dan juga bisa dipakai keperluan rumah tangga seperti mencuci piring dll
Air ini bentuknya sebagai berikut:
A. Air laut
Dari Abu Hurairah berkata,” Seseorang bertanya kepada Rasulullah Saw: Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami telah berlayar dan kami hanya membawa sedikit air, bila kami berwudhu dengan air tersebut, maka kami akan kehausan. Bolehkah kami berwudhu dengan air laut? Rasulullah Saw menjawab : Laut itu suci airnya dan halal bangkainya. (Hadist Sahih diriwayatkan oleh Malik, asy-Syafi’I, Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, Nasai, Ibnu Majah, Darimi, Ibnu Huzaimah, Ibnu Jarud, Hakim, dll)
B. Air Hujan Atau Air ang Keluar Dari Perut Bumi
“Dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan kamu dengan hujan itu…” (QS. Al-Anfal: 11)
C. Air Zam-Zam
“Bahwa Rasulullah Saw pernah meminta diambilkan bejana yang berisi Air Zam-Zam, beliau meminum sebagian dan sebagian lagi digunakan untuk wudhu.” (HR. Ahmad)
D. Air Yang Berubah Warnanya Karena Tidak Mengalir.
Misalnya seperti air kolam yang tidak ada sirkulasi air, kemudian berubah warnany menjadi hijau karena lumut atau daun yang jatuh. Para ulama sepakat bahwa air seperti ini dianggap bagian dari Air Mutlak.
2. Air Suci Tapi Tidak Mensucikan, yaitu air bersih (tidak terkena najis), air kopi misalnya, ia suci karena bisa diminum, tapi tidak bias dijadikan alat pembersih seperti menyuci baju misalnya.
3. Air Najis, yaitu air najis yang sudah berubah salah satu bentuknya, karena berubah baunya, warnanya atau rasanya. Apabila air tercampur dengan sesuatu yang najis, maka hukumnya maka perhatikan dua keadaan sebagai berikut:
A. Apabila air yang tercampur dengan barang najis tadi berubah rasa, warna dan baunya, maka tidak boleh bersuci dengan air tersebut.
B.Apabila air tercampur dengan barang najis, tidak berubah warna, rasa dan baunya. Hukum air semacam ini suci dan mensucikan, berdasarkan dalil sebagai berikut:
Dari Abu Said Al-Khudri berkata : Rasulullah Saw pernah ditanya : Bolehkah kita berwudhu dari air Budho’ah ( sumur yangada di Kota Madinah yang biasa digunakan untuk membuang pembalut wanita, kotoran dan daging anjing). Rasulullah Saw menjawab : Air itu suci, tidak dinajiskan oleh sesuatupun. (Shahih. Diriwayatkan Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, Nasai, Daruqutni, Ibnu Jarud, Al-Baghawi. Tirmidzi berkata : hadits hasan, dan disahihkan oleh Ahmad bin Hambal, Yahya bin Main dan Ibnu Hazm).
Beberapa pandangan yang membagi pembagian air menjadi dua atau empat macam, sebenarnya kesimpulannya sama saja. Seperti pandangan Syeikh Utsaymin dan Syeikh Sa’di yang membagi air menjadi dua macam saja, yaitu Air Suci dan Air najis,. Dan pandangan ini diambil dari pandangan Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Qoyyim Al-Jauzi.
Tentang Air Musta’mal
Yaitu air yang telah digunakan untuk wudhu dan mandi / tetesan air bekas dipakai untuk wudhu
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum air mustamal ini, apakah suci atau tidak. Argumen yang menyebutkan bahwa air mustamal adalah termasuk air Suci dan mensucikan sangat kuat dan dalilnya antara lain sebagai berikut:
1. Dari Abu Juhaifah berkata : Rasulullah Saw pernah keluar kepada kami pada siang hari, beliau diberi tempat wudhu dan berwudhu dengannya lalu para sahabat mengambil sisa air wudhunya dan mengusapkan dengannya. (HR. Bukhari)
2. Dari Rubayyi binti Muawwidh bahwasanya Nabi Saw mengusap kepalanya dengan sisa air yang ada di tangannya. (HR. Abu Daud, dan dihasankan Al-Albani dalam Sahih sunan Abu Daud)
3. Dari Jabir bin Abdillah berkata : Rasulullah Saw pernah mengunjungiku ketika sakit, tidak sadarkan diri. Lalu beliau berwudhu dan menuangkan kepadaku dari tempat wudhunya tadi. (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam hadits di atas terdapat dalil tentang sucinya air musta’mal / air bekas dipakai untuk wudhu.
I. AHKAM THAHARAH
(Hukum Yang Berhubungan Bersuci)
Taharah berasal dari kata bersih atau membersihkan dari kotoran
Sedangkan menurut definisi fikih berarti: membersihkan hadast atau menghilangkan najis. Dengan demikian hadast itu berarti sesuatu perbuatan yang mengharuskan berwudhu atau mandi. Perbuatan yang mengharuskan wudhu itu misalnya seseorang yang hendak shalat yang tadinya tidak suci karena kencing atau buang air besar. Yang mengharuskan mandi itu ketika bertemunya dua sunatan (hubungan seksual atau keluar mani).
Taharah adalah cirri penting dalam Islam yang mengandung arti bahwa setiap muslim dan muslimah harus selalu suci baik batin maupun raganya. Sucinya batin berarti membersihkan hati dari syirik, dengki, iri hati, takabur dan sebagainya. Allah Swt befirman:
“(Yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih,” (QS. Asy-Syua’ara: 88-89)
“Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. Al-Isra: 36)
Namun pembahasan Fikih tentang Taharah ini lebih menitik beratkan pada kesucian raga, sedangkan pembahasan tentang penyucian batin lebih banyak disinggung dalam pengajaran Akhlak.
II. AHKAM Al-MIYAH
(Hukum-hukum Yang Berhubungan Dengan Air)
Setelah mengkaji semua pandangan ahli fikih dalam setiap aliran fikih, kesimpulan umum bahwa air terbagi tiga kategori, yaitu:
1. Air Suci dan Mensucikan ( yang lazim disebut Air Mutlak), yaitu air suci yang tidak tercampur air najis, yang bisa dipakai wudhu, mandi dan juga bisa dipakai keperluan rumah tangga seperti mencuci piring dll
Air ini bentuknya sebagai berikut:
A. Air laut
Dari Abu Hurairah berkata,” Seseorang bertanya kepada Rasulullah Saw: Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami telah berlayar dan kami hanya membawa sedikit air, bila kami berwudhu dengan air tersebut, maka kami akan kehausan. Bolehkah kami berwudhu dengan air laut? Rasulullah Saw menjawab : Laut itu suci airnya dan halal bangkainya. (Hadist Sahih diriwayatkan oleh Malik, asy-Syafi’I, Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, Nasai, Ibnu Majah, Darimi, Ibnu Huzaimah, Ibnu Jarud, Hakim, dll)
B. Air Hujan Atau Air ang Keluar Dari Perut Bumi
“Dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan kamu dengan hujan itu…” (QS. Al-Anfal: 11)
C. Air Zam-Zam
“Bahwa Rasulullah Saw pernah meminta diambilkan bejana yang berisi Air Zam-Zam, beliau meminum sebagian dan sebagian lagi digunakan untuk wudhu.” (HR. Ahmad)
D. Air Yang Berubah Warnanya Karena Tidak Mengalir.
Misalnya seperti air kolam yang tidak ada sirkulasi air, kemudian berubah warnany menjadi hijau karena lumut atau daun yang jatuh. Para ulama sepakat bahwa air seperti ini dianggap bagian dari Air Mutlak.
2. Air Suci Tapi Tidak Mensucikan, yaitu air bersih (tidak terkena najis), air kopi misalnya, ia suci karena bisa diminum, tapi tidak bias dijadikan alat pembersih seperti menyuci baju misalnya.
3. Air Najis, yaitu air najis yang sudah berubah salah satu bentuknya, karena berubah baunya, warnanya atau rasanya. Apabila air tercampur dengan sesuatu yang najis, maka hukumnya maka perhatikan dua keadaan sebagai berikut:
A. Apabila air yang tercampur dengan barang najis tadi berubah rasa, warna dan baunya, maka tidak boleh bersuci dengan air tersebut.
B.Apabila air tercampur dengan barang najis, tidak berubah warna, rasa dan baunya. Hukum air semacam ini suci dan mensucikan, berdasarkan dalil sebagai berikut:
Dari Abu Said Al-Khudri berkata : Rasulullah Saw pernah ditanya : Bolehkah kita berwudhu dari air Budho’ah ( sumur yangada di Kota Madinah yang biasa digunakan untuk membuang pembalut wanita, kotoran dan daging anjing). Rasulullah Saw menjawab : Air itu suci, tidak dinajiskan oleh sesuatupun. (Shahih. Diriwayatkan Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, Nasai, Daruqutni, Ibnu Jarud, Al-Baghawi. Tirmidzi berkata : hadits hasan, dan disahihkan oleh Ahmad bin Hambal, Yahya bin Main dan Ibnu Hazm).
Beberapa pandangan yang membagi pembagian air menjadi dua atau empat macam, sebenarnya kesimpulannya sama saja. Seperti pandangan Syeikh Utsaymin dan Syeikh Sa’di yang membagi air menjadi dua macam saja, yaitu Air Suci dan Air najis,. Dan pandangan ini diambil dari pandangan Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Qoyyim Al-Jauzi.
Tentang Air Musta’mal
Yaitu air yang telah digunakan untuk wudhu dan mandi / tetesan air bekas dipakai untuk wudhu
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum air mustamal ini, apakah suci atau tidak. Argumen yang menyebutkan bahwa air mustamal adalah termasuk air Suci dan mensucikan sangat kuat dan dalilnya antara lain sebagai berikut:
1. Dari Abu Juhaifah berkata : Rasulullah Saw pernah keluar kepada kami pada siang hari, beliau diberi tempat wudhu dan berwudhu dengannya lalu para sahabat mengambil sisa air wudhunya dan mengusapkan dengannya. (HR. Bukhari)
2. Dari Rubayyi binti Muawwidh bahwasanya Nabi Saw mengusap kepalanya dengan sisa air yang ada di tangannya. (HR. Abu Daud, dan dihasankan Al-Albani dalam Sahih sunan Abu Daud)
3. Dari Jabir bin Abdillah berkata : Rasulullah Saw pernah mengunjungiku ketika sakit, tidak sadarkan diri. Lalu beliau berwudhu dan menuangkan kepadaku dari tempat wudhunya tadi. (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam hadits di atas terdapat dalil tentang sucinya air musta’mal / air bekas dipakai untuk wudhu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar